Kamis, Maret 26, 2009

LAPORAN KUNJUNGAN DI PAPUA:

Jayapura

Isu kesehatan telah lama menjadi issu diakonia oleh Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua. GKI memiliki sarana pelayanan kesehatan, seperti RS Effatha, Anggruk (Kabupaten Jayawijaya), BP-BKIA Yoka Distrik Sentani, Pusat Rehabilitasi Kusta RS Selebesolu, Sorong. Disamping itu, ada juga lembaga pelayanan kesehatan lain yang dikelola oleh organisasi gerejawi lain, seperti Baptis atau MAF (Mission Aviation Fellowship). Paling tidak ada 15 unit (lembaga) pelayanan kesehatan, yang berhimpun dan membangun jaringan bersama institusi pelayanan kesehatan di Indonesia, yang berhimpun dalam PELKESI.

Hanya saja 10-15 tahun terakhir, sarana pelayanan ini kurang berjalan dengan baik, disamping karena tenaga kesehatan (profesional) yang melayani dan diperbantukan, telah selesai tugas dan kembali ke daerah (lembaga) pengutus, tetapi juga pelayanan kesehatan belum menjadi isu utama dalam kebijakan program gereja. Komunikasi dan koordinasi kurang berjalan dengan baik, bahkan nyaris tidak ada.

Kondisi kesehatan di Tanah Papua sangat memprihatinkan. Jumlah kasus HIV/AIDS adalah yang tertinggi bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Papua, atau urutan ke-2 kasus terbanyak dari seluruh provinsi di Indonesia. Endemi malaria dan angka kesakitan lain juga tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Angka kematian ibu hamil, ibu melahirkan dan balita pun adalah yang tertinggi. Penyebaran tenaga kesehatan profesional, khususnya tenaga spesialis, hanya ada di kota provinsi atau kabupaten. Bahkan dokter umum, perawat dan bidan tidak semua ada di Puskesmas apalagi Pustu (puskesmas pembantu).

Karena itu bertepatan dengan penyelenggaraan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen di Indonesia (JK LPK Indonesia)—dimana Pelkesi menjadi partisipan (anggota, pen)—yang diselenggarakan di Jayapura, penulis mengambil waktu untuk melakukan audiensi dan berdiskusi dengan Pimpinan Sinode GKI di Tanah Papua, Pdt. Nn. Jemima Krey, S.Th (Ketua). Pada kesempatan tersebut dikemukakan kondisi kesehatan di Papua, sebagaimana digambarkan di atas, dan langkah-langkah yang perlu diambil, termasuk dalam membangun dan mengembangkan jejaring bersama dalam Pelkesi.
Salah satu langkah yang diambil adalah mulai mengaktifkan BP-BKIA Yoka, Sentani Kabupaten Jayapura. Sekarang ini pembangunan rumah dinas dokter telah selesai, dan dilanjutkan dengan renovasi BP-BKIA. Disamping itu, RS Effatha di Anggruk, Kabupaten Jayawijaya juga mulai diaktifkan, disamping membangun “tempat-sementara” (shelter) untuk penderita AIDS.

Diharapkan Pelkesi, dapat membantu upaya-upaya pengaktifan kembali sarana pelayanan kesehatan tersebut, disamping ucapan terima kasih karena Pelkesi sudah mulai aktif (re-aktivasi) di daerah ini, (dari Manokwari, Klasis Manokwari) melalui fasilitasi di BP Juliana Manokwari. Bantuan dan fasilitasi yang dimaksud adalah pelatihan manajemen BP, pengembangan pelayanan kesehatan jemaat, dan pemberdayaan guru injil dengan pengetahuan dan wawasan kesehatan. Karena guru injil ini yang menjadi ujung tombak bertemu dengan jemaat, khususnya di pedalaman. (***)


Manokwari

Manokwari merupakan daerah entry, Pelkesi mulai aktif di Tanah Papua. Reaktivasi ini merupakan kebijakan pengembangan organi-sasi pada Munas VI tahun 2003 di Yogyakarta.

Persoalan tidak berfungsinya jejaring Pelkesi 10-15 tahun terakhir karena belum ada kontak person yang menjadi penghubung (lialison) antara Sekretariat (Jakarta) dan Papua. Dalam struktur organisasi Pelkesi, daerah Papua adalah wilayah V. Di daerah Papua, melalui komunikasi intensif didapatkan penghubung, yang profesional di bidang kesehatan tetapi juga aktivis gereja.

Dalam pertemuan dengan pengurus wilayah V, yang antara lain dihadiri oleh Dr. Alfred Bandaso (Wakil Ketua) dan Dr. Renold Simatupang (Sekretaris) didiskusikan tentang keadaan Pelkesi di wilayah V pada umumnya dan Manokwari pada khususnya. BP-BKIA Juliana sebagai sarana pelayanan gereja, yang dikelola GKI Klasis Manokwari, dikunjungi rerata 20 pasien setiap hari. Dalam hal pembiayaan, dibantu oleh klasis dan Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan. Gaji dan operasional BP, dapat ditanggulangi. Sekarang ini sedang diajukan kepada Pemerintah Provinsi untuk pengembangan bangunan pelayanan (termasuk fisik) BP ini ke arah pelayanan rawat inap sementara. Pengajuan ini sedang dibahas oleh Pemerintah daerah.

Beberapa program dan kegiatan pelayanan kesehatan berbasis jemaat agak lamban perkembangannya karena sebagian besar pengurus, pindah tugas ke daerah pemekaran “baru”. Pengaturan waktu untuk rapat dan koordinasi agak jarang dilaksanakan. Walaupun demikian, sedang dipikirkan juga untuk mengajak daerah lain di Papua, seperti Merauke, Jayapura dan Sorong. Pertemuan ini dilaksanakan dalam bentuk Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil). (***)

KOMUNITAS RUMAH SAKIT KRISTEN

Oleh: F. Nefos Daeli
(Direktur Eksekutif PELKESI)


Upaya mempertahankan dan mengembangkan eksistensi RS Kristen terus-menerus menjadi pergumulan dari waktu ke waktu. Bukan hanya untuk mempertahankan keberadaan sebagaimana didirikan para misionaris (zendling) pada mulanya, ataupun kalau berkembang, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi diarahkan kepada komitmen dan kekonsistenan melaksanakan misi dan tugas gereja, yaitu melayani (diakonia); meringankan, bahkan membebaskan manusia dari penderitaan.

Bagi masyakat umum, termasuk jemaat, pemahaman tugas pelayanan, diartikan bahwa penyelenggaan pelayanan kesehatan oleh RS Kristen adalah penuh kasih, ramah, penuh dedikasi, bersedia melayani tanpa “pamrih”, dan yang murah serta bermutu, bahkan kalau perlu gratis. Pemahaman ini telah menjadi citra (branded image) RS Kristen, sehingga kalau ada pengobatan dan perawatan di RS dengan biaya besar, selalu ditafsirkan bahwa RS Kristen telah menjadi komersial, menyimpang dari misi gereja.

Sebenarnya para misionaris memperkenalkan pelayanan kesehatan dengan pengetahuan dan teknologi dari “barat”, membutuhkan dana yang besar dan biaya tinggi. Hanya saja dana ini ditanggung oleh organisasi misionaris. Menjadi persoalan ketika para misionaris ini menyelesaikan tugas dan kembali ke negaranya, tugas penyelenggaraan diserahkan, diambil-alih dan diteruskan kepada jemaat lokal atau lembaga yang dibentuk itu, termasuk pendanaan. Akan tetapi kenyataan, sumber pendanaan alternatif—selain pasien—terbatas. Padahal pengetahuan, teknologi kedokteran, sarana dan prasarana di RS, yang semuanya itu memerlukan dana besar.

Perubahan tidak dapat dihindari, proaktif dan antisipatif terhadap kondisi demikian, mesti dilakukan. Karena itu manajemen RS Kristen berusaha mengembangkan strategi mendapatkan alternatif pendanaan. Sebab kalau tidak, pasien atau masyarakat beralih kepada RS lain, yang memiliki keunggulan kompetitif dari RS Kristen. Di beberapa RS Kristen pengembangan strategi ini cukup efektif; menjadi market-leader atau paling tidak tetap eksis. Di beberapa RS lain, langkah-langkah ini kurang berhasil; diperhadapkan dengan hal-hal kekurangan SDM, khususnya spesialis, dan sarana penunjang yang kurang memadai dilihat dari perkembangan teknologi kedokteran dan penyakit.

Kekurang-berhasilan itu dapat disebutkan sebagai kendala yang tidak dapat dipecahkan dengan strategi-strategi, karena bersifat kebijakan dan bersifat struktural (sistemik). Sebagai kasus, misalnya tenaga kesehatan profesional, yaitu dokter dan spesialis, penempatan tidak merata, apalagi di daerah-daerah terpencil. Sangat sedikit RS Kristen sekarang ini, yang dapat memenuhi kebutuhan spesialis ini. Para profesional ini, umumnya cenderung melayani di kota-kota besar karena berbagai faktor. Disamping pertimbangan kebutuhan finansial dan perolehan (return) atas “investasi” selama pendidikan, tetapi juga karena di daerah, sarana dan prasarana yang mendukung tugas profesional terbatas, bahkan mungkin tidak ada. Artinya pelayanan tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Biaya pendidikan spesialis juga juga tinggi, dan ketentuan pemerintah yang hanya mengijinkan penyelenggaraannya di perguruan tinggi negeri (PTN), yang semua upaya-upaya ini, sebagian besar ditafsirkan sebagai investasi, yang pada suatu waktu akan didapatkan penggantinya; kembali pokok.

Karena ketidak-tepatan strategi dan kendala seperti itu, eksistensi RS Kristen mendapatkan tantangan yang serius. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan, dimana sarana dan prasarana, dan SDM apa adanya misi gerejawi yang diemban, pasti berjalan apa adanya juga, tidak optimal, dan lebih dikesankan hanya mengelola “aset” peninggalan sejarah (para misionaris). Bertolak belakang dengan pelayanan yang dilaksanakan Tuhan Yesus ketika bersama murid-muridNya, selalu memberikan yang terbaik kepada para pengikut dan masyarakat pada saat itu.

MEMBANGUN BERSAMA DALAM PERSEKUTUAN

Upaya menghadapi situasi yang demikian, salah satunya menjadi latar belakang pembentukan Pelkesi (Persekutuan Pelayanan Kristen Untuk Kesehatan di Indonesia). Pada awalnya kata yang digunakan untuk “persekutuan” adalah “persatuan”. Tetapi karena “persatuan” lebih dikesankan pada organisasi yang bersifat stuktural dan hierarkis, yang bukan menjadi karakter dan sifat dalam membangun kebersamaan, maka kata itu diganti menjadi “persekutuan”, yang diharapkan nantinya, dapat menghimpun semua potensi gereja untuk mengoptimalkan pelayanan di sektor kesehatan.

Pelkesi menjadi forum komunikasi dan koordinasi pelayanan kesehatan, serta mendorong RS yang relatif sudah berkembang (dan tua) menjadi pendamping RS yang belum berkembang. Sentra-sentra pendampingan dibentuk, antara lain RS PGI Cikini (Jakarta) dan RS Bethesda (Yogyakarta). Disamping itu juga dikembangkan konsep pelayanan kesehatan yang berbasis masyarakat, dan merevitalisasi konsep pelayanan gereja yang menyembuhkan (healing church). Konsep-konsep ini diharapkan terintegrasi dalam pelayanan di RS dan tertransformasi itu kepada masyarakat dan jemaat.

RS PGI Cikini merespon pendampingan itu bekerja sama dengan sinode gereja, antara lain: Sinode Gereja HKBP mendampingi RS HKBP Balige, Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) mengembangkan pelayanan RS GPM Ambon, Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) mengembangan RS Ibu dan Anak Umbu Manekan di So’e, dan Sinode Gereja Toraja dengan RS Elim. RS Bethesda Yogyakarta mengembangkan pelayanan kesehatan RS Tanpa Dinding (hospital without wall) sebagai pengembangan konsep pelayanan kesehatan berbasis masyarakat. RS Kristen lain yang juga mengembangkan pelayanan ini adalah RS Bethesda Tomohon, RS Bethesda Saribudolok, Simalungun dan RS Emanuel Klampok Banjarnegara.

Konsep sentra pendampingan menjadi model program-program Pelkesi kemudian. Konsep-konsep ini ditransformasikan kepada RS Kristen dan institusi pelayanan kesehatan lainnya, juga dengan individual, seperti pelayanan kesehatan primer, air bersih, sanitasi lingkungan, bahkan ketika terjadi bencana alam juga melibatkan diri untuk penanggulangan bencana, termasuk advokasi. Untuk institusi RS dikembangkan paket-paket pelatihan manajemen dan kepemimpinan, kualitas pelayanan dan akreditasi, seminar dan lokakarya. Di institusi pendidikan, yaitu akademi perawat, kebidanan, paket-paket seperti ini juga dilaksanakan. Kegiatan lain, antara lain pertemuan-pertemuan lintas institusi dan fokus pelayanan juga dilaksanakan, tidak hanya nasional tetapi juga di wilayah, antara lain Rapat Kerja Wilayah, Rapat Kerja Nasional, Musyawarah wilayah, dan Musyawarah Nasional.

Akan tetapi model sentra itu tetap menyisakan banyak pertanyaan dalam kerangka pengembangan visi dan misi bersama serta strategi RS Kristen. Pertanyaan berkisar pada hasil dan dampak. Misalkan hasil setelah 25 tahun berhimpun bersama terhadap eksistensi RS Kristen. Begitu banyak pelatihan dan seminar dilaksanakan, yang walaupun tingkat entusiasme tinggi dan yang hadir juga demikian banyak, mengapa tetap muncul pertanyaan terhadap eksistensi RS Kristen.

Karena itu pada Munas VI di Yogyakarta tahun 2003 muncul gagasan untuk membentuk “kamar” sendiri bagi insitusi RS Kristen dalam wadah Pelkesi, untuk membicarakan dan merumuskan langkah-langkah mempertahankan dan mengembangkan eksistensi tersebut. Gagasan itu, kemudian diformulasikan sistem kelembagaan dalam bentuk Kluster (cluster) RS sebagai bagian kelengkapan Pelkesi.

Formula ini cukup menggembirakan, yang antara lain ditandai dengan kegiatan perumahsakitan lebh sering dilaksanakan dengan fokus bahasan yang bervariasi baik pada level nasional maupun wilayah. Sharing antara RS berlangsung dinamis. Betapapun demikian tetap memunculkan pertanyaan seperti diatas: hasil dan dampak bagi internal masing-masing RS.

KOMUNITAS RUMAH SAKIT KRISTEN

Menggunakan terminologi yang biasa digunakan dalam sosiologi, komunitas merupakan upaya pengelompokan berdasarkan kesamaan minat, masalah dan tantangan bersama.
Dengan mengadopsi konsep tersebut, RS Kristen dapat mengembangkan Komunitas RS Kristen sebagai sebuah entitas dalam komunitas gereja ataupun pelayanan kesehatan, lintas wilayah dan denominasi. Dalam komunitas ini dibangun visi bersama dan strategi utama (grand strategy) RS Kristen. Ini yang belum kita miliki selama ini, sehingga kegiatan yang berkaitan dengan RS, baik yang diselenggarakan oleh cluster RS hanya merupakan aktivitas yang bersifat fragmented walaupun tetap kontekstual, tetapi tidak mengerucut pada pencapaian sesuatu. Karena belum terumuskan itu dengan baik, kita dikesankan kegiatan yang satu dengan yang lain kurang berkaitan dan tidak berkesinambungan. Dari perumusan itu, kemudian dikembangkan dengan sejumlah nilai dan prinsip, sebagai rambu-rambu yang harus diperhatikan untuk melaksanakan visi-misi itu. Baru disepakati sistem yang mendukung upaya tersebut, sebagai upaya melembagakan komunitas bersama.

Pengembangan konsep ini tidak mudah memang, karena kepelbagaian RS Kristen, baik itu kepemilikan, sejarah, tipe dan ragam pelayanan. Tetapi itu tidak menjadi hambatan yang berarti bila ada komitmen bersama. Sebab komunitas ini tidak meniadakan kepemilikan atau pun sejarah masing-masing RS, tetapi sebaiknya mendorong untuk bertumbuh bersama.

Pertemuan RS Kristen pada bulan Mei 2009, hendaknya menjadi starting point untuk mengkaji dan mewacanakan gagasan tesebut. Dengan demikian, RS Kristen akan bergerak ke arah yang jelas dengan langgam kerja (action plan) yang terstuktur.(***)